Jumat, 13 Juni 2014

Kontradiksi Keputusan Keputusan Terhadap Kejahatan Narkoba

Menurut saya masalah dasar terjadinya kontradiksi keputusan-keputusan terhadap kejahatan narkoba adalah selain karena lemahnya faktor peraturan perundang-undangan dalam mengantisipasi perkembangan kejahatan narkotika, juga karena kinerja dari aparat penegak hukum itu sendiri. Agar aparat penegak hukum dapat melaksanakan tugasnya secara efisien, efektif, dan profesional, maka harus didukung oleh sistem manajemen, sarana dan fasilitas yang memadai, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar penegak hukum. Hal ini harus dimulai dari penataan sistem rekruitmen dan promosi yang konsisten dan obyektif, disertai dengan sistem rewart bagi yang berprestasi dan penjatuhan punisment bagi yang berprestasi dalam kinerja penegakan hukum.
    Dari prespektif soiologis hukum, selain karena faktor perundang-undangan dan aparat penegak hukum, maka faktor kultur hukum masyarakat juga mempunyai peran yang signifikan dan menentukan apakah kinerja penegak hukum akan menjadi efektif atau tidak dalam penanggulangan tindak pidana narkotika. Hal ini karena faktor perundang-undangan, aparat penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat merupakan tiga komponen pokok dalam sistem hukum yang satu sama lain saling melengkapi dan mempengaruhi efektifitas penegakan hukum dalam nasyarakat.
    Jika faktor hukumnya lemah tetapi aparat penegak hukum konsisten  dan tegas serta ditunjang dengan manajemen dan sarana yang memadai, kemudian ditunjang dengan kultur hukum masyarakat yang kondusif, maka kinerja penegakan hukum akan berlangsung secara efektif. Tetapi, jika alemen hukumnya sudah baik tetapi faktor aparat penegak hukumnya tidak tegas dan tidak konsisten, sarana dan manajemen tidak seimbang, diambah lagi dengan kultur masyarakat yang tidak kondusif, maka kinerja penegakan hukum menjadi tidak efektif, dan demikian seterusnya.
    Karena itu, untuk mencegah kejahatan narkotika secara utuh, maka perundang-undangan, institusi penegak hukum, dan kultur hukum masyarakat harus menjadi sesuatu yang penting dalam penegakan hukum. Ini merupakan contoh kontradiksi keputusan-keputusan terhadapat kejahatan narkoba:
  1. Intrumen hukum nasional yang mengatur penyalahgunaan narkotika, yaitu UU No. 9 Tahun 1996 maupun UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti UU Narkotika 1976 secara khusus tidak mengatur ketentuan mengenai tindak pidana narkotika transnasional yang dilakukan di luar batas teritorial Indonesia. Karena itu, instrumen hukum narkotika nasional tidak mampu menjangkau tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional
  2. Secara normatif ancaman sanksi pidana yang diatur dalam UU Narkotika 1976 maupun UU Narkotika 1997 sudah berat (mulai dari pidana penjara sampai pidana mati plus pidana denda secara kumulatif)  tetapi kelemahan mendasar justru terjadi pada tingkatan implementasi atau penegakan hukumnya.
  3. Ketentuan sanksi pidana penjara dan denda yang diatur dalam UU Narkotikqa 1976 dan UU Narkotika 1997 hanya mencantumkan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus terhadap jenis tindak pidana tertentu dan pada setiap obyek narkotika tertentu. Tetapi, tidak diatur mengenai ancaman pidana minimum umum dan maksimum umum, sehingga menimbulkan disparitas penjatuhan pidana dalam hal lamanya masa pidana dan jenis pidananya tanpa dasar pembenar yang jelas terhadap perkara-perkara pidana narkotika di pengadilan. Implikasi hukum dari adanya disparitas penjatuhan pidana ini dikaitkan dengan correction administration, karena salah tujuan penjatuhan pidana adalah agar orang menghormati hukum; jika terpidana yang satu mengetahui ada terpidana lain dijatuhi pidana yang lebih ringan dari dirinya, atau sebaliknya padahal perbuatan yang dilakukan sama maka terpidana tersebut cenderung semakin tidak menghormati hukum. Akibatnya, tujuan dari penjatuhan pidana maupun perlindungan masyarakat untuk ketertiban dan keamanan juga menjadi tidak tercapai.
  4. Lemahnya kinerja penegakan hukum tidak saja karena faktor perundang-undangan narkotika, tetapi juga karena kinerja aparat penegak hukum dalam penanggulangan (pencegahan maupun penindakan) tindak pidana narkotika. Kelemahan dari faktor UU Narkotika 1997 antara lain : (a) jarak antara ancaman pidana minimum khusus dengan maksimum khusus (toleransi disparitas) sangat jauh dan bervariasi tanpa disertai dengan pedoman penentuannya; (b) tidak diatur mengenai ancaman pidana minimum umum dan maksimum umum pedoman penjatuhan pidana sehingga memberi peluang judicial discretion yang terlalu luas bagi hakim dalam memutus perkara narkotika; (c) terdapat inkonsistensi dalam penggunaan prinsip pencantuman ancaman pidana, karena terdapat beberapa pasal yang tidak mengatur ancaman pidana minimal khusus dan maksimum khusus sedangkan pasal-pasal yang lain mengaturnya; (d) tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh nkorporasi hanya diancam dengan pidana dengan disertai dengan pidana tambahan seperti pencabutan ijin atu penutupan sebagaian atau keseluruhan korporasi; (e) ancaman pidana denda untuk korporasi jumlahnya milyaran rupiah tanpa menegaskan ancaman minimum khususnya, sehingga memberi peluang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana dengan dengan minimum umum yang jumlahnya sangat kecil bagi suatu korporasi
Contoh masalah yang  sesuai dengan uraian diatas adalah kasus dari corby seorang warga  negara Australia yang tertangkap membawa 4,2kg ganja saat diperiksa tasnya di bandara Ngurah Rai, Bali oleh petugas Bea Cukai. Pada kasus ini Corby ditetapkan bersalah dengan hukuman 20 tahun penjara namun Corbi mengajukan grasi ke presiden kemudian grasi tersebut dikabulkan dan akhirnya Corby bebas bersyarat hal ini sangat terlihat bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat lemah dan tidak konsisten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar